Safril.com - Kontroversi banyugeni yang melibatkan kampus Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) sedikit demi sedikit mulai menghilang. Tak lama sejak kemunculan kontroversi banyugeni, kini muncul bahan bakar yang disebut “minyak gendruwo”. Minyak ini diklaim jauh lebih hemat daripada minyak tanah. Namun bedanya, bahan bakar ini tak lagi dirahasiakan proses pengolahannya karena bahan bakar alternatif tersebut telah siap dipasarkan berikut kompor pembakarnya.
Minyak Gendruwo dibuat para peneliti di Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya. Disebut “minyak gendruwo” karena bahan bakar alternatif tersebut dibuat dari singkong gendruwo, jenis singkong yang umbinya berukuran cukup besar. Para peneliti ITS sendiri menyebut bahan bakar alternatif ini dengan minyak tanah BE-40.
Sebenarnya tak ada yang berbeda dengan bahan bakar alternatif tersebut bila dibandingkan dengan bahan bakar alternatif lain yang berupa minyak karena pada dasarnya, BE-40 adalah cairan bio-ethanol biasa. Namun, terobosan yang diperkenalkan ITS adalah pada pemilihan bahan baku yang murah serta proses pembuatannya yang mudah.
“Bio-ethanol itu sangat hemat, karena satu liter minyak bio-ethanol setara dengan sembilan liter minyak tanah biasa“, kata peneliti bio-ethanol, Ir Sri Nurhatika MP di Surabaya, Kamis (26/6). Didampingi Pembantu Rektor (PR) IV ITS Surabaya, Prof Ir Eko Budi Djatmiko, ia mengatakan, harga satu liter bio-ethanol mencapai Rp10.000, sedangkan sembilan liter minyak tanah berkisar Rp27.000 dengan asumsi harga Rp3.000 per liter.
Bio-ethanol sebenarnya juga dapat dibuat sendiri oleh masyarakat, karena bahan pembuatan ethanol ini dapat dengan mudah ditemukan di pasar tradisional dan cara pembuatannya pun mudah. Menurut beliau, ethanol sebenarnya dapat dibuat dari bahan-bahan lain yang mengandung karbohidrat, beberapa diantaranya adalah ubi kayu, walur, kelapa sawit, tetes tebu, kacang koro, limbah tahu, limbah sampah, dan sebagainya.
“Bahan paling ideal adalah ubi kayu yang di Jawa dikenal dengan sebutan singkong gendruwo, karena tingkat karbohidratnya cukup tinggi. Singkong gendruwo juga mengandung pati (racun) yang tak layak dikonsumsi,” katanya menambahkan.
Cara pembuatannya, singkong gendruwo itu ditumbuk halus, kemudian dimasak dengan panci sampai menjadi bubur. Hasilnya diberi ragi untuk memicu proses fermentasi lalu didiamkan selama 4 hingga 5 hari sampai keluar cairan ethanolnya dengan kadar 90%. Namun, kadar ethanol 90% itu belum cukup untuk berfungsi seperti minyak tanah karena kadar ethanol yang dibutuhkan adalah 95% sehingga perlu ditingkatkan.
kadar ethanolnya di bawah 95% masih mengandung Pb (timbal), sedangkan bahan bakar harus bebas dari Pb karena dapat menimbulkan ledakan. Untuk menaikkan kadar ethanol itu dapat ditambahkan batu kapur (gamping), sehingga ethanol-nya menjadi bersih dari Pb.
Kompor minyak tanah bio-ethanol tidak memiliki sumbu layaknya kompor minyak biasa. Dengan dukungan peneliti Teknik Mesin ITS Surabaya, desain kompor khusus bio-ethanol pun dikembangkan. “Hasil desain Teknik Mesin ITS itu akhirnya kami kerjasamakan dengan Koperasi Manunggal Sejahtera Yogyakarta, untuk memproduksi kompor tanpa sumbu yang harganya Rp40.000“, katanya.
Dengan demikian, minyak tanah bio-ethanol tidak hanya ekonomis, tapi juga terbukti tanpa jelaga. Salah satu kelemahan minyak bio-ethanol adalah pada proses pemanasan minyak yang cukup lama. “Misalnya untuk memasak mie instan, kompor minyak tanah biasa hanya membutuhkan waktu 10 menit, sedangkan kompor bio-ethanol 2-3 menit lebih lama“, katanya.
Sumber: www.kompas.com
No comments:
Post a Comment